Kota Bima memiliki wisata budaya dengan kebudayaan Islam sebagai basisnya.
Asi Mbojo (istana kesultanan), kuburan raja-raja dan para wali,
permainan dan kesenian rakyat serta upacara keagamaan seperti perayaan
maulud, U'a pua serta prosesi pelantikan raja dan lain-lain merupakan
obyek dan event yang sangat menarik.
Tari Wura Bongi Monca
Beberapa tarian yang masih dapat di nikmati antar lain
a. Atraksi Gantao
Jenis tarian ini berasal dari Sulawesi Selatan dengan nama asli Kuntao.
Namun di Bima diberi nama Gantao. Atraksi seni yang mirip pencak silat
ini berkembang pesat sejak abad ke-16 Masehi. Karena pada saat itu
hubungan antara kesultanan Bima dengan Gowa dan Makasar sangat erat.
Atraksi ini dapat dikategorikan dalam seni Bela diri (silat), dan dalam
setiap gerakan selalu mengikuti aturan musik tradisional Bima (Gendang,
Gong, Tawa-tawa dan Sarone). Pada zaman dahulu setiap acara-acara di
dalam lingkungan Istana Gantao selalu digelar dan menjadi ajang
bertemunya para pendekar dari seluruh pelosok, hingga saat ini Gantao
masih tetap lestari detengah-tengah masyarakat Bima dan selalu digelar
pada acara sunatan maupun perkawinan).
b. Tari Wura Bongi Monca
Seni budaya tradisional Bima berkembang cukup pesat pada masa
pemerintahan sultan Abdul Kahir Sirajuddin, sultan Bima ke-2 yang
memerintah antara tahun 1640-1682 M. Salah satunya adalah Tarian Selamat
Datang atau dalam bahasa Bima dikenal dengan Tarian Wura Bongi Monca.
Gongi Monca adalah beras kuning. Jadi tarian ini adalah Tarian menabur
Beras Kuning kepada rombongan tamu yang datang berkunjung.
Tarian ini biasanya digelar pada acara-acara penyabutan tamu baik
secara formal maupun informal. Pada masa kesultanan tarian ini biasa
digelar untuk menyambut tamu-tamu sultan. Tarian ini dimainkan oleh 4
sampai 6 remaja putri dalam alunan gerakan yang lemah lembut disertai
senyuman sambil menabur beras kuning kearah tamu, Karena dalam falsafah
masyarakat Bima tamu adalah raja dan dapat membawa rezeki bagi rakyat
dan negeri.
c. Tari Lenggo
Tari Lenggo ada dua jenis yaitu Tari Lenggo Melayu dan Lenggo Mbojo.
Lenggo Melayu diciptakan oleh salah seorang mubalig dari Pagaruyung
Sumatera Barat yang bernama Datuk Raja Lelo pada tahun 1070 H. Tarian
ini memang khusus diciptakan untuk upacara Adat Hanta UA Pua dan
dipertunjukkan pertama kali di Oi Ule (Pantai Ule sekarang) dalam rangka
memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW. Lenggo Melayu juga dalam bahasa
Bima disebut Lenggo Mone karena dibawakan oleh 4 orang remaja pria.
Terinspirasi dari gerakan Lenggo Melayu, setahun kemudian tepatnya
pada tahun 1071 H, Sultan Abdul Khair Sirajuddin menciptakan Lenggo
Mbojo yang diperankan oleh 4 orang penari perempuan. Lenggo Mbojo juga
disebut Lenggo Siwe. Nah, jadilah perpaduan Lenggo Melayu dan Lenggo
Mbojo yang pada perkembangan selanjutnya dikenal dengan Lenggo UA PUA.
Tarian Lenggo selalu dipertunjukkan pada saat Upacara Adat Hanta UA PUA
terutama pada saat rombongan penghulu Melayu mamasuki pelataran Istana.
d. Rawa Mbojo
Salah satu seni budaya Mbojo yang merupakan ajang hiburan masyarakat
tempo dulu adalah Rawa Mbojo. Seni ini adalah salah satu media
penyampaian pesan dan nasehat yang disuguhkan terutama pada malam hari
saat-saat penen sambil memasukkan padi di lumbung. Senandung Rawa Mbojo
yang di-iringi gesekan Biola berpadu dengan syair dan pantun yang penuh
petuah adalah pelepasan lelah dan pembeli semangat kepada warga yang
melakukan aktifitas di tiap-tiap rumah. Sebagai selingan, dihadirkan
pula seorang pawang cerita yang membawakan dongeng-dongeng yang menarik
dan penuh makna kehidupan.
Syair dan senandung Rawa Mbojo didominasi pantun khas Bima yang berisi
nasehat dan petuah, kadang pula jenaka dan menggelitik. Ini adalah
sebuah warisan budaya tutur yang tak ternilai unuk generasi. Dalam Rawa
Mbojo terdapat beragam lirik yang dikenal dengan istilah Ntoro. Ada
Ntoko Tambora, Ntoko Lopi Penge, dan Ntoko lainnya. Tiap Ntoko memiliki
khas masing-masing. Misalnya Ntoko Tambora dilantunkan dalam syair dan
irama yang mengambarkan kemegahan alam. Ntoko Lopi Penge mengambarkan
suasana laut dan gelombang. Syair dan pantun yang dilantunkan pun
dikemukakan secara spontan sesuai keadaan. Itulah kelebihan dari para
pelantun Rawa Mbojo. Meskipun tidak bisa membaca dan menulis, namn
mereka sangan pawai melantunkannya secara spontanitas.
e. Hadrah Rebana
Jenis atraksi kesenian ini telah berkembang pesat sejak abad ke-16.
Hadrah Rebana merupakan jenis atraksi yang telah mendapat pengaruh
ajaran islam. Syair lagu yang dinyanikan adalah lagu-lagu dalam bahasa
Arab dan biasanya mengandung pesan-pesan rohani. Dengan berbekal 3 buah
Rebana dan 6 sampai 12 penari, mereka mendendangkan lagu-lagu seperti
Marhaban dan lain-lain. Hadrah Rebana biasa digelar pada acara WA’A CO’I
(Antar Mahar), Sunatan maupun Khataman Alqur’an. Hingga saat ini Hadrah
Rebana telah berkembang pesat sampai ke seluruh pelosok. Hal yang
menggembirakan adalah Hadrah Rebana ini terus berkembang dan dikreasi
oleh seniman di Bima. Dan banyak sekali karya-karya gerakan dan
lagu-lagu yang mengiringi permainan Hadrah Rebana ini.
Semua atraksi kesenian dan tari-tarian ini oleh Pemerintah Kota Bima
selalu di gelar pada setiap perayaan hari-hari besar daerah, propinsi
dan nasional bahkan untuk menyambut para tamu-tamu pemerintahan,
wisatawan dan kegiatan-kegiatan ceremonial lainnya yang terpusat di
Paruga Nae (tempat khusus pagelaran seni budaya dengan arsitektur khas
tradisional rumah adat Bima).
(Ref: http://bimakota.go.id)